Pengertian Ilmu Fiqih

 Sumber
 -------------------
1. Menurut Bahasa
Kata fiqih (فقه) secara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al fahmu al mujarrad (الفهم المجرد), yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja.[1]
Makna yang kedua adalah al fahmu ad daqiq (الفهم الدقيق), yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.
Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat Al Quran Al Karim, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam yang tidak mengerti ucapannya.


“Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.’” (QS Hud: 91)
Di ayat lain juga Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang tidak memahami pembicaraan.
Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS An Nisa: 78)
Sedangkan makna fiqih dalam arti mengerti atau memahami yang mendalam, bisa temukan di dalam Al Quran Al Karim pada ayat berikut ini:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At Taubah: 122)
Dalam prakteknya, istilah fiqih ini lebih banyak digunakan untuk ilmu agama secara umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama sering disebut sebagai faqih, sedangkan seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran atau arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau ahli fiqih.[2]
2. Menurut Istilah
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri.
Al Imam Abu Hanifah punya definisi tentang fiqih yang unik, yaitu: Mengenal jiwa manusia terkait apa yang menjadi hak dan kewajibannya.[3]
Sebenarnya definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah akidah dan keimanan bahkan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga fiqih yang dimaksud oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al Fiqhul Akbar.
Ada pun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih yang dikenal para ulama adalah:[4]
الْعِلم با لأحكم الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,”
Penjelasan definisi:
a. Ilmu:
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu.
Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan rituAl ritual. Fiqih juga bukan seni yang lebih bermain dengan rasa dan keindahan.
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu yang bisa dipelajari, didirikan di atas kaidah-kaidah yang bisa dipresentasikan dan diuji secara ilmiyah.
Selama ini fiqih sudah menjadi fakultas yang diajarkan di berbagai universitas sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bersifat akademis dan diakui secara ilmiyah di dunia international.
b. Hukum-hukum
Ilmu fiqih adalah salah satu cabang ilmu, yang secara khusus termasuk ke dalam cabang ilmu hukum. Jadi pada hakikatnya ilmu fiqih adalah ilmu hukum.
Kita mengenal ada banyak cabang dan jenis ilmu hukum, misalnya hukum adat yang secara tradisi berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Selain hukum adat, kita juga mengenal hukum barat yang umumnya hasil dari penjajahan Belanda.
c. Syariat
Hukum yang menjadi wilayah kajian ilmu fiqih adalah hukum syariat, yaitu hukum yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta telah menjadi ketetapAn Nya, dimana kita sebagai manusia, telah diberi beban mempelajarinya, lalu menjalankan hukum-hukum itu, serta berkewajiban juga untuk mengajarkan hukum-hukum itu kepada umat manusia.
Dengan kata lain, ilmu fiqih bukan ilmu hukum yang dibuat oleh manusia. Fiqih adalah hukum syariat, dimana hukum itu 100% dipastikan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keterlibatan manusia dalam ilmu fiqih hanyalah dalam menganalisa, merinci, memilah serta menyimpullkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala f irmankan lewat Al Quran Al Karim dan juga lewat apa yang telah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sampaikan berupa sunnah nabawiyah atau hadits nabawi.
d. Amaliyah
Yang dimaksud dengan amaliah adalah bahwa hukum fiqih itu terbatas pada hal-hal yang bersifat amaliyah badaniyah, bukan yang bersifat ruh, perasaan, atau wilayah kejiwaan lainnya.
Sebagaimana kita tahu hukum syariah itu cukup banyak wilayahnya, ada wilayah akidah yang lebih menekankan pada wilayah keyakinan dan pondasi keimanan. Ada hukum yang terkait dengan akhlak dan etika.
Dalam hal ini ilmu hukum fiqih hanya membahas hukum-hukum yang bersifat fisik berupa perbuatan-perbuatan manusia secara fisik lahiriyah. Tegasnya, fiqih itu hanya menilai dari segi yang kelihatan saja, sedangkan yang ada di dalam hati, atau di dalam benak, tidak termasuk wilayah amaliyah.
e. Yang di ambil dari dalil-dalilnya yang rinci
Banyak orang beranggapan bahwa ilmu fiqih itu sekedar karangan atau logika para ulama, yang menurut bahwa ulama itu manusia juga. Sedangkan yang berasal dari Allah hanyalah Al Quran, dan yang berasal dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al Hadits.
Cara pemahaman seperti ini mungkin maksudnya benar tetapi agak kurang tepat dalam memahaminya.
Sesungguhnya ilmu fiqih itu 100% diambil dari Al Quran dan Sunnah nabiwiyah, sebagai sumber rujukan utama. Rasanya tidak ada yang menyalahi hal prinsip ini.
Namun kita tahu bahwa tidak mudah memahami Al Quran atau hadits begitu saja, khususnya buat orang-orang yang awam dan tidak mengerti ilmu-ilmu dalam memahami keduanya.
Kalau yang melakukannya orang awam atau orang ajam, apalagi jarak antara kita hidup dengan masa turunnya Al Quran sudah terpaut 14 abad lamanya. Ditambah lagi kita punya perbedaan budaya dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka harus ada ilmu dan metode yang baku dan bisa dipertanggung-jawabkan untuk bisa mengeluarkan kesimpulan hukum dari Al Quran dan Sunnah.
Kalau boleh dibuat perumpamaan, ilmu fiqih itu ibarat ilmu tentang prakiraan cuaca. Ilmu ini tentu bukan ilmu ramal meramal dengan menggunakan kekuatan ghaib. Ilmu ini mengandalkan data dan fakta dari gejala-gejala di alam, yang sebenarnya semua orang bisa melihat atau merasakannya. Misalnya arah hembusan angin dan kecepatannya, kelembaban udara, suhu, dan lainnya.
Bagi orang awam, walaupun mereka bisa melihat atau merasakannya semua gejala alam itu, namun mereka tidak akan bisa mengetahui bagaimana mengolah data-data gejala alam itu secara akurat. Yang bisa mengolah data-data itu hanya mereka yang belajar ilmu itu secara serius.
Kalau kita buka kitab suci Al Quran dan atau membolak-balik kitab shahih Bukhari, sebenarnya yang kita lakukan barulah membaca data mentah.
Kalau kita tidak mengerti bahasa Arab dengan seluk beluk sastranya, maka kita tidak akan mengerti makna setiap ayat dan hadits sebagai mendasar.
Kalau kita tidak tahu latar belakang kenapa ayat itu turun, dan juga tidak punya informasi kenapa nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, tentu saja kita tidak punya pegangan dasar tentang tujuan masing-masing dalil itu.
Satu hal lagi yang amat fatal, yaitu seringkali secara sekilas kita melihat atau menyangka telah terjadi ketidak-singkronan antara satu ayat dengan ayat lainnya, juga antara hadits yang satu dengan hadits lainnya. Bahkan antara ayat dan hadits pun terkadang terjadi hal yang sama. Maka buat orang awam, seringkali terjadi kekeliruan yang amat fatal. Padahal yang sesungguhnya terjadi bukan tidak singkron, tetapi karena kita tidak tahu konteks dari masing-masing dalil. Atau boleh jadi Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berbicara dalam waktu dan situasi yang berbeda.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya shahabat, amal apa yang paling utama di sisi Allah. Jawaban beliau adalah jihad di jalan Allah. Tetapi pada kesempatan yang lain, ketika diajukan pertanyaan yang sama, jawaban beliau adalah berbakti kepada orang tua. Bahkan pernah juga beliau hanya berpesan untuk tidak pernah berdusta selama-lamanya.
Tentu saja orang awam akan bingung kalau membaca hadits-hadits yang sekilas kelihatan berbeda itu. Tetapi dengan ilmu fiqih, kita jadi tahu bahwa jawaban yang berbeda-beda itu ternyata disebabkan orang yang bertanya berbeda-beda.
Ternyata beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab setiap pertanyaan itu berdasarkan kondisi subjektif masing-masing penanya.
Mereka yang kurang berbakti kepada orang tua, maka nasihat beliau adalah disuruh berbakti. Buat mereka yang rada pengecut dan kurang punya nyali, beliau anjurkan untuk berjihad di jalan Allah. Sedangkan buat pedagang yang sering kalau berdagang banyak bohongnya, nasehat beliau adalah jangan berdusta.
Kesimpulan:
Secara sederhana kita bisa simpulkan bahwa fiqih adalah kesimpulan hukum-hukum bersifat baku hasil ijtihad ulama yang bersumber dari Al Quran, sunnah, ijma, qiyas dan dalil-dalil yang ada.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa)

Cerita Pendek (Pentingnya Membaca Al-Qur'an)

Gunakan 5 Perkara Sebelum Datang 5 Perkara